Minggu, 21 Maret 2010

KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA


KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

Menjaga ketersediaan pasokan listrik saat ini sangatlah sulit, faktor ekonomi adalah faktor yang terpenting dalam menjaga ketersediaan pasokan tersebut. Fakta saat ini memperlihatakan telah terjadi defisit antara Biaya Pokok Produksi dengan harga jual rata-rata listrik. Defisit ini memerlukan kompensasi dalam bentuk subsidi listrik untuk meringankan beban masyarakat Subsidi listrik tersebut dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Perbelanjaan Negara. Rencana PLN untuk menerapkan tarif listrik yang berbeda untuk beberapa golongan tarif sebagai salah satu upaya dalam pengurangan subsidi listrik harus didukung. Masyarakat Indonesia perlu mengetahui bagaimana kondisi dan permasalahan ketenagalistrikan Indonesia saat ini, dan mengerti berbagai alasan yang menyebabkan diperlukannya subsidi listrik untuk tetap menjaga ketersediaan pasokan listrik di Indonesia.

Berdasarkan data laporan yang diperoleh Fazar M.C, Robin S dan Fela R.W dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral kapasitas pembangkit listrik saat ini adalah sebesar 33.352 MW. Kapasitas tersebut berasal dari Kapasitas Daya PLN yang terpasang yaitu 28.041 MW atau 84,06% dari total kapasitas terpasang, pembangkit swasta (IPP) sebesar 4.244 MW atau 12.72%, dan pembangkit terintegrasi (PPU) sebesar 1.066 MW atau 3,22%. Kapasitas ini harus terus mengalami peningkatan seiring makin meningkatnya pertumbuhan penduduk. Peningkatan kapasitas ini bisa dilihat dari grafik 1 berikut ini :

Terlihat dari grafik di atas bahwa terjadi peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, Pada tahun 2004 Kapasitas Daya PLN yang terpasang adalah sebesar 21.470 MW, dalam jangka waktu 5 tahun tepatnya pada tahun 2009 Kapasitas Daya PLN yang terpasang sebesar 28.041MW meningkat sebanyak 6.571MW. Jika perekonomian di Indonesia terus meningkat serta diiringi peningkatan industry dan penyediaan rumah tinggal, tentu saja kapasitas daya yang digunakan akan terus meningkat pula. Pemerintah khususnya PLN harusnya mempunyai langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut seperti dengan menggalakkan program efisiensi untuk mengurangi losses, yang merupakan kerugian non teknis yang paling utama, yang saat ini mencapai 10%-an.

Minggu, 07 Maret 2010

SELINTAS MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

SELINTAS MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Objek pada PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Yang dimaksud dengan Bumi disini adalah Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya dapat di ambil contoh seperti sawah, ladang, kebun, pekarangan, tambang, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia seperti rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll

Adapun objek yang dikecualikan di dalam PBB adalah objek yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain. Selain itu juga digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala dan merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan azas timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai atas bangunan, memperoleh manfaat atas bangunan.
Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak atau orang pribadi atau badan yang menikmati, memanfaatkan atau memiliki obyek pajak berupa tanah dan atau bangunan tersebut (Pemilik atau Penyewa).
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB haruslah mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
Dasar pengenaan PBB adalah "Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)". NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan :
a. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar
b. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya
c. nilai perolehan baru
d. penentuan nilai jual objek pengganti

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
b. Apabila wajib pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan besarnya NJKP ditentukan sebagai berikut :
 Objek pajak perkebunan adalah 40%
 Objek pajak kehutanan adalah 40%
 Objek pajak pertambangan adalah 20%
 Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%
Berikut ini adalah Rumus Penghitungan PBB:
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)

Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.